Doa Selepas Shalat Subuh

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam selepas mengucapkan salam selesai shalat subuh, beliau membaca (do’a):

“اللهم إني أسألك علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقب…

“Allahumma inni as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabalan”

Artinya:
“Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima” (Shahih, HR Ibnu Majah: 925)

Menghadapi Situasi Sulit? Berdoalah!

by Muhammad Irfan

Ketika Anda menghadapi masa-masa sulit, berjuang melawan sebuah penyakit, Anda dizalimi, atau Anda seorang wanita yang tengah melahirkan berjuang antara hidup dan mati. Berdoalah! Karena pada saat sempit, sakit, susah, Allah kan lebih mudah menjawab doa Anda

أَمَّنْ يُجِيْبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْءَ
“Siapakah yang mengabulkan permintaan orang yang dalam kesempitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah) Dia yang menghilangkan kejelekan?” (An-Naml: 62)

Hal ini terbalik dengan fenomena yang menimpa banyak orang di zaman ini, ketika ditimpa kesulitan sebagian orang malah marah-marah, mengeluarkan kata tak pantas, bahkan na’udzubillah, malah menyalahkan takdir dan Allah yang telah menciptakan takdir.

Semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa diberi taufik untuk selalu bisa mengingatNya dan berdoa kepada Nya.

Doa sewaktu Duduk diantara Dua Sujud

by deddy kurniawan

Rabbighfirlii (Tuhanku, ampuni aku)…. diamlah sejenak, buka dada dan diri untuk menerima ampunan dari Allah seperti membuka diri ketika merasakan hembusan angin sepoi-sepoi atau menerima curahan air hujan ketika masih kecil ….. Kemudian sampaikanlah permintaan kedua …….

Warhamni (sayangi aku)…. diam dan tundukkanlah diri untuk menerima kasih-sayang Allah yang tak terhitung besarnya …. bukalah dada seluas-luasnya agar semakin banyak kasih-sayang Allah yang kita terima…. Ulanglah beberapa kali hingga kita merasa cukup, sampaikanlah permintaan2 berikut dengan cara sebagaimana tersebut di atas, satu-persatu……

Wajburnii (tutuplah aib-aibku)…..

Warfa’nii (angkatlah derajatku)……

Warzuqnii (berilah aku rezeki)……

Wahdinii (berilah aku petunjuk)……

Wa’Aafinii (sehatkan aku)……

Wa’fuannii (maafkan aku) …

Setelah selesai, diamlah sejenak, lalu sampaikan rasa syukur.

Betapa besarnya nilai sebuah doa ini.
Selamat menikmati sholat kita yang di dalamnya terdapat doa2. Semoga Allah mengabulkannya.. Amin ..

Penggunaan masya Allah dan subhanallah yang sering terbalik

Berikut ini kultweet Ust @salimafillah

tentang ”SubhanaLlah” & ”MasyaaLlah”.

Al Quran menuturkan; SubhanaLlah digunakan dalam mensucikan Allah dari hal yang tak pantas. “Maha Suci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan, dll.”

Ayat-ayat berkomposisi ini sangatlah banyak. Juga, SubhanaLlah digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikkan semacam syirik (QS 34: 40-41), dihinakannya Allah tersebab kita (QS 12: 108) dll.

Bukankah ada juga pe-Maha Suci-an Allah dalam hal menakjubkan? Uniknya, Al Quran menuturnya dengan kata ganti kedua (QS 3: 191), atau kata ganti ketiga yang tak langsung menyebut asma Allah (QS 17: 1 dll).

Sedangkan ia juga terpakai pada; me-Maha Suci-kan Allah dalam menyaksikan bencana & mengakui kezhaliman diri (QS 68: 29), menolak fitnah keji yang menimpa saudara (QS 24: 16). Bagaimana Hadits-nya?

“Kami apabila berjalan naik membaca takbir, & apabila berjalan turun membaca tasbih.” (HR Al Bukhari, dari Jabir).

Jadi “SubhanaLlah” dilekatkan dalam makna “turun”, yang kemudian sesuai dengan kebiasaan orang dalam Bahasa Arab

secara umum; yakni menggunakannya tuk mengungkapkan keprihatinan atas suatu hal kurang baik di mana tak pantasAllah SWT dilekatkan padanya.

Adalah Gurunda @kupinang (Moh. Fauzil Adhim) yang pernah memiliki pengalaman memuji seorang Gurunda lain nan asli Arab dengan “SubhanaLlah”, kemudian mendapat jawaban tak dinyana.“AstaghfiruLlahal ‘Adhim; ‘afwn Ustadz; kalau ada yang bathil dalam diri & ucapan ana; tolong segera Ant luruskan!”, kira-kira demikian.

Bagaiamana simpulannya? Dzikir tasbih secara umum adalah utama, sebab ia dzikir semua makhluq & tertempat di waktu utama pagi & petang. Adapun dalam ucapan sehari-hari, mari membiasakan ia sebagai pe-Maha Suci-an Allah atas hal yang memang tak pantas bagi keagunganNya.

Bagaimana dengan “MasyaaLlah”?

QS 18: 39 memberi contoh; ia diucapkan atas kekaguman pada aneka kebaikan melimpah; kebun, anak, harta. Sungguh ini semua terjadi atas kehendak Allah; kebun subur menghijau jelang panen; anak-anak yang ceria menggemaskan, harta yang banyak. Lengkapnya; “MasyaaLlah la quwwata illa biLlah”, kalimat ke-2 menegaskan lagi; tiada kemampuan mewujudkan selain atas pertolongan Allah.

Pun demikian dalam kebiasaan lisan berbahasa Arab; mereka mengucapkan “MasyaaLlah” pada keadaan juga sosok yang kebaikannya mengagumkan.

Demikianlah pengalaman menghadiri acara Masyaikh; & membersamai beberapa yang empat ke Jogokariyan; dari Saudi, Kuwait, Syam, & Yaman.

Di antara mereka ada yang berkata, “MasyaaLlah” nyaris tanpa henti, kala di Air Terjun Tawangmangu, Bonbin Gembiraloka, & Gunung Merapi.

Simpulannya; “MasyaaLlah” adalah ungkapan ketakjuban pada hal-hal yang indah; dan memang hal indah itu dicinta & dikehendaki oleh Allah. Demi ketepatan makna keagunganNya & menghindari kesalahfahaman; mari biasakan mengucap “SubhanaLlah” & ”MasyaaLlah” seperti seharusnya.

Membiasakan bertutur sesuai makna pada bahasa asli insyaaLlah lebih tepat & bermakna. Tercontoh; orang Indonesia bisa senyum gembira padahal sedang dimaki. Misalnya dengan kalimat; “Allahu yahdik!”. Arti harfiahnya; ”Semoga Allah memberi hidayah padamu!” Bagus bukan? Tetapi untuk diketahui; makna kiasan dari “Allahu yahdik!” adalah “Dasar gebleg!” ;D

Jadi, mari belajar tanpa henti & tak usah memaki 😉

Getar Hati Para Pemimpi

by Ust Salim A Fillah

Ia pemuda biasa. Lahir dari keluarga miskin lagi pengungsi. Ia bermimpi untuk melawan kedzaliman yang mencakar koyak wajah bumi para Nabi, tanah kelahirannya, sejak pertengahan abad lalu. Suatu hari masih dalam sengatan mimpinya, ia bersama teman-temannya membuat sebuah acara kemah ketangkasan di pantai Gaza. Dan dari sanalah kisah menakjubkan itu dimulai.

Di akhir acara mereka berlomba, mereka saling adu ketahanan. Siapa bisa melakukan head stand, berdiri dengan kepala dalam jangka waktu terlama, dialah sang pemenang. Sang pemenang berhak digendong bergantian selama perjalanan pulang.

Tiap menit, satu demi satu peserta menyerah. Lalu tinggallah dia sendiri, pemuda itu. Dia masih terus bertumpu di atas kepalanya bahkan sampai beberapa jam kemudian! Gila! Teman-temannya berseru-seru.Tapi ia tak beranjak. Wajahnya dicobakan untuk tetap tersenyum. Hingga pada satu titik waktu, ia tak tahan lagi. Serasa ada yang meledak di kepalanya. Lalu ia jatuh. Sayangnya saat mencoba bangkit, ia limbung. Ia jatuh lagi. Dan kakinya sulit digerakkan, bahkan serasa tak mampu menahan berat tubuhnya. Hari itu, usianya baru enam belas tahun. Dan perkenalkan, nama pemuda itu adalah. AHMAD YASSIN.

Ia lumpuh di usia remajanya. Tapi mimpinya tidak ikut lumpuh. Mimpi itu tetap menyala. Bahkan kian berkobar. Dengan kelumpuhannya, ia memilih untuk menjadi guru agama Islam di sebuah sekolah dasar. Dan karena mimpi-mimpinya yang menjulang, murid-muridnya tersengat. Konon, tiap kali ia mengajarkan sesuatu, murid-muridnya bak kerasukan. Mereka begitu bersemangat mengamalkan apa yang dikatakannya.

Suatu hari, disinggungnya tentang shalat malam. Maka paginya, para wali murid memprotes pihak sekolah karena anak-anak mereka jadi begadang semalaman menantikan sepertiga malam terakhir untuk shalat. Suatu hari, disinggungnya pula tentang puasa sunnah. Maka para orangtua pun kelabakan karena hari-hari berikutnya anak-anak mereka yang masih kecil memboikot sarapan pagi dan makan siang untuk berpuasa. Padahal musim panas begitu dahsyat dengan siang panjang bermandikan matahari.

Duhai, kekuatan apakah itu, yang ada pada guru lumpuh itu? Itulah kekuatan jiwa. Begitu kokohnya ia hingga jasad yang rapuh itu bagaikan matahari, bersinar meledakkan. Bertahun-tahun dia di penjara Israel, sampai manusiau pun bertanya apa bahayanya orangtua yang lumpuh penyakitan ini?

Inilah lelaki yang ditakuti Israel. Bukan yang seperti Rambo. Bukan yang badannya sekekar Ade Rai. Hanya seorang lelaki lumpuh berkursi roda yang bicaranya pun terbata-bata. Suaranya juga kecil hampir kehabisan bunyi. Tapi kekuatan jiwanya itulah, jiwa yang dipenuhi mimpi, keyakinan pada janji Ilahi, membuatnya begitu perkasa, begitu berwibawa di hadapan jutaan pasukan bersenjata lengkap berkendara lapis baja. Perkenankanlah, namanya AHMAD YASSIN.

Saat langit berwarna merah saga
dan kerikil perkasa berlarian
meluncur laksana puluhan peluru
terbang bersama teriakan takbir
-Shoutul Harokah : Merah Saga-

Mimpi adalah bagian terindah dan terendah dari Visi. Jika hendak menaikannya satu aras,jadikanlah ia cita-cita. Bagaimana caranya? Sematkan saja sebuah tanggal padanya. Karena cita-cita adalah mimpi yang bertanggal.

Seorang pemimpi hanya bisa di hadapi oleh pemimpi yg lain. Maka protagonis kisah Hertzl dan Zionisme-nya adalah Ahmad Yassin dan Hamas-nya. Sampai saat ini,mimpi Ahmad Yassin dan Hamas tetap menegakkan bulu roma hingga tawa para zionis tak terlalu menganga. Ahmad Yassin telah syahid, dan kini semoga kita menjadi bagian dari penyambung mimpinya utk memancung tempat tumbuhnya bulu roma kezhaliman.

Mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok, Kata Hasan AlBanna. Dijalan cinta para pejuang mungkin kita terjaga sebelum mimpi kita selesai. Dan tugas kitalah utk segera bangun,bangkit menyelesaikannya di alam nyata..

Dikutip dari “Jalan Cinta Para Pejuang” – Salim A. Fillah

Jeruk Busuk Rasa Manis

by Bayu Gawtama

Suatu hari, ketika saya sedang menjenguk salah satu saudara yang tengah dirawat di rumah sakit, terdengar suara makian keras dari pasien sebelah, “Bawa jeruk kok busuk, mau ngeracunin saya? biar saya cepat mati?”

Suara marah itu berasal dari lelaki tua yang kedatangan salah satu keluarganya dengan membawa jeruk. Boleh jadi benar, bahwa beberapa jeruk dalam jinjingan itu busuk atau masam. Meski tidak semua jeruk yang dibawanya itu busuk dan sangat kebetulan yang terambil pertama oleh si pasien yang busuk. Dan tanpa bertanya lagi, marahlah ia kepada si pembawa jeruk.

Sebenarnya, boleh dibilang wajar jika seorang pasien marah lantaran kondisinya labil dan kesehatannya terganggu. Ketika ia marah karena jeruk yang dibawa salah satu keluarganya itu busuk, mungkin itu hanya pemicu dari segunung emosi yang terpendam selama berhari-hari di rumah sakit. Penat, bosan, jenuh, mual, pusing, panas, dan berbagai perasaan yang menderanya selama berhari-hari, belum lagi ditambah dengan bisingnya rumah sakit, perawat yang kadang tak ramah, keluarga yang mulai uring-uringan karena kepala keluarganya sekian hari tak bekerja, semuanya membuat dadanya bergemuruh. Lalu datanglah salah satu saudaranya dengan setangkai ketulusan berjinjing jeruk. Namun karena jeruk yang dibawanya itu tak bagus, marahlah ia.

Wajar. Sekali lagi wajar. Tetapi tidak dengan peristiwa lain yang hampir mirip terjadi di acara keluarga besar belum lama ini. Seorang keluarga yang tengah diberi ujian Allah menjalani kehidupannya dalam ekonomi menengah ke bawah, berupaya untuk tetap berpartisipasi dalam acara keluarga besar tersebut. Tiba-tiba, “Kalau nggak mampu beli jeruk yang bagus, mending nggak usah beli. Jeruk asam gini siapa yang mau makan?” suara itu terdengar di tengah-tengah keluarga dan membuat malu keluarga yang baru datang itu.

Pupuslah senyum keluarga itu, rusaklah acara kangen-kangenan keluarga oleh kalimat tersebut. Si empunya suara mungkin hanya melihat dari jeruk masam itu, tapi ia tak mampu melihat apa yang sudah dilakukan satu keluarga itu untuk bisa membawa sekantong jeruk yang boleh jadi harganya tak seberapa.

Harga sekantong jeruk mungkin tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Tapi tahukah seberapa besar pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk membelinya?
Rumahnya sangat jauh dari rumah tempat acara keluarga, dan sedikitnya tiga kali tukar angkutan umum. Sepuluh ribu itu seharusnya bisa untuk makan satu hari satu keluarga. Boleh jadi mereka akan menggadaikan satu hari mereka tanpa lauk pauk di rumah. Atau jangan-jangan pagi hari sebelum berangkat, tak satu pun dari anggota keluarga itu sempat menyantap sarapan karena uangnya dipakai untuk membeli jeruk. Yang lebih parah, mungkin juga mereka rela berjalan kaki dari jarak yang sangat jauh dan memilih tak menumpang satu dari tiga angkutan umum yang seharusnya. “Ongkos bisnya kita belikan jeruk saja ya, buat bawaan. Nggak enak kalau nggak bawa apa-apa,” kata si Ayah kepada keluarganya.

Kalimat sang Ayah itu, hanya bisa dijawab dengan tegukan ludah kering si kecil yang sudah tak sanggup menahan lelah dan panas berjalan beberapa ratus meter. Tak tega, Ayah yang bijak itu pun menggendong gadis kecil yang hampir pingsan itu. Ia tetap memaksakan hati untuk tega demi bisa membeli harga dari di depan keluarga besarnya walau hanya dengan sekantong jeruk. Menahan tangisnya saat mendengar lenguhan nafas seluruh anggota keluarganya sambil berkali-kali membungkuk, jongkok, atau bahkan singgah sesaat untuk mengumpulkan tenaga. Itu dilakukannya demi mendapatkan sambutan hangat keluarga besar karena menjinjing sesuatu.

Setibanya di tempat acara, sebuah rumah besar milik salah satu keluarga jauh yang sukses, menebar senyum di depan seluruh keluarga yang sudah hadir sambil bangga bisa membawa sejinjing jeruk, lupa sudah lelah satu setengah jam berjalan kaki, tak ingat lagi terik yang memanggang tenggorokan, bertukar dengan sejumput rindu berjumpa keluarga. Namun, terasa sakit telinga, layaknya dibakar dua matahari siang. Lebih panas dari sengatan yang belum lama memanggang kulit, ketika kalimat itu terdengar, “Jeruk asam begini kok dibawa…”

Duh. Jika semua tahu pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk bisa menjinjing sekantong jeruk tadi, pastilah semua jeruk asam itu akan terasa manis. Jauh lebih manis dari buah apa pun yang dibawa keluarga lain yang tak punya masalah keuangan. Yang bisa datang dengan kendaraan pribadi atau naik taksi dengan ongkos yang cukup untuk membeli seperti jeruk manis dan segar.

Mampukah kita melihat sedalam itu? Sungguh, manisnya akan terasa lebih lama, meski jeruknya sudah dimakan berhari-hari yang lalu.

“Pernahkah Anda merasa benar-benar memiliki sesuatu?”

by Bayu Gawtama

“Pernahkah Anda merasa benar-benar memiliki sesuatu?”


Saya sungguh kaget ketika seorang sahabat saya mengajukan pertanyaan seperti itu. Sepintas sepertinya teramat mudah untuk menjawabnya, namun saya tak ingin terjebak dalam kalimat yang biasa ia lontarkan. Saya tahu, ia tak pernah bermain-main dengan kata-katanya, dan memang inilah yang membuat saya amat bersyukur menjadi sahabatnya. Perlu Anda tahu, sampai sahabat saya itu pamit meninggalkan saya, saya benar-benar tak mampu menjawab pertanyaan tersebut. 

Malam harinya saya terus memikirkan pertanyaan itu, “Pernahkah saya merasa benar-benar memiliki sesuatu?”, pertanyaan itu terus berulang-ulang menari di benak saya. Kemudian saya pandangi isteri saya yang sudah tertidur. Saya menikahinya beberapa tahun lalu dan semakin hari cinta saya terhadapnya makin tak ternilai. Sebegitu tingginya, saya sering merasa takut kehilangan dirinya. Tapi, apakah saya benar-benar berhak memilikinya? 

Saya melangkah ke kamar anak-anak, dan dua bidadari cantik itu tengah lelap terbuai mimpi. Apapun akan saya lakukan, berapa pun harganya akan saya bayarkan untuk membuat anak-anak saya bahagia. Demikian besar cinta saya terhadap mereka, sehingga saya sering menangis takut kehilangan saat mereka sakit, meski sekadar flu atau badannya terasa hangat. Tapi, apa hak saya merasa takut kehilangan mereka? Apakah mereka benar-benar milik saya?

Dua bulan lalu ketika mengalami kecelakaan motor, kaki dan tangan saya terluka. Tapi entah kenapa ada hati yang tak rela, seolah hati ini terluka lebih parah dari kaki dan tangan saya yang berdarah melihat motor yang belum sebulan saya beli itu rusak berantakan. Bahkan ketika motor itu tergores sedikit, seolah hati ini ikut merasa perih tergores. Bolehkah saya benar-benar merasa seperti itu? 

Bisa dibilang saya termasuk orang yang lumayan sering kehilangan telepon selular. Dalam hitungan saya, sudah lima kali saya kehilangan alat komunikasi itu. Waktu pertama kali kehilangan ponsel delapan tahun yang lalu, tubuh saya lemas seperti kehilangan separuh energi. Saya benar-benar seperti kehilangan separuh jiwa saya. Namun untuk kali kesekian saya menjadi terbiasa, nampaknya saya mulai bisa ikhlas ketika ponsel saya hilang untuk kali ketiga, keempat dan kelima. Tapi kenapa sampai detik ini saya masih hapal betul merek, type, dan detil-detil semua ponsel yang pernah hilang itu? Sebegitu dalamkah saya merasa mencintai semua yang pernah saya miliki? Benarkah saya sudah ikhlas untuk semua kehilangan itu? 

Maafkan saya sahabat, saya benar-benar belum mampu menjawab pertanyaan itu, setidaknya saat ini. Mungkin nanti menunggu saya memperbaiki tatanan hati saya, agar benar-benar siap jika kelak saya kehilangan sesuatu yang saya miliki saat ini. Saya memang benar-benar takkan pernah selamanya memiliki apa yang pernah saya raih. Semua yang ada saat ini sebelumnya tidak pernah ada, lalu ada dan menjadi milik saya. Namun setiap sesuatu yang awalnya tidak ada, pastilah akan berakhir kepada ketiadaan. 

Saya tidak pernah benar-benar membeli sesuatu, semua itu datang karena ada yang memberi. Maka kalau Si Pemberi itu memintanya kembali, tidaklah ada hak saya untuk sakit hati atau kecewa, juga sedih. Berat, tapi saya harus bisa!

Bahagia tanpa Syarat

by Badroni Yuzirman

 

Kadang kita sering terjebak dengan cara pikir seperti ini. Cara berpikir bahwa kebahagiaan itu adalah bersyarat. Contohnya: saya akan bahagia kalau sudah punya rumah sendiri, saya akan bahagia kalau sudah punya mobil, saya akan bahagia kalau punya istri cantik, saya akan bahagia kalau punya anak laki-laki, saya akan bahagia kalau….

Untuk mendapatkan bahagia bersyarat itu kita pun dengan semangat 45 siang malam mengejarnya. Tapi, ada pertanyaan lain. Apakah ada jaminan kalau syarat itu didapat, otomatis kebahagiaan itu juga tercapai? Kalau tidak bagaimana? Padahal kita sudah melakukan segala daya upaya dan pengorbanan untuk mencapainya. Ada orang yang mengorbankan harga dirinya untuk mencapai itu, misalnya dengan korupsi. Ada yang mengorbankan waktu yang berharga dengan keluarga. Ada yang mengorbankan integritas dirinya dengan menjadi penipu dan manipulator demi tujuan itu. 

Kita terjebak untuk menempatkan rasa bahagia itu kepada yang bersifat materi dan di luar diri kita. Ada seorang suami yang akhirnya stress setelah membelikan mobil mewah untuk istrinya. Si istri bukannya semakin senang dan bersyukur, malah setiap hari kerjaannya ngedumel terus karena sopir pribadinya banyak tingkah. Ada seorang super kaya yang setiap hari stress memikirkan penampilannya. Dia stress karena tidak ingin berpakaian yang sama setiap hari. 

Di sisi lain, ada sebuah keluarga yang berkumpul dan tertawa riang menyaksikan sebuah acara dari sebuah pesawat televisi kecil dan butut. Nampaknya keluarga itu begitu bahagia dan menikmati kegembiraan yang sederhana dan murah meriah itu.

Jadi, pada akhirnya kalau kita menggantungkan kebahagiaan itu kepada sesuatu, apakah itu benda materi, kondisi tertentu, orang lain, niscaya akan kecewa. Kebahagiaan tidak membutuhkan itu semua. Semua itu sudah ada dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan itu tidak mahal. Kebahagiaan itu bisa hadir tanpa syarat macam-macam. 

Tulisan ini juga sekaligus otokritik bagi diri saya pribadi. Kadang saya juga menemukan diri saya terjebak dalam kondisi ini. Tapi minimal saya sadar, bahwa itu salah dan tidak terjebak di dalam cara berpikir seperti ini.

Friend for Life

a Friend for LIFE
By Made Teddy Artiana(http://www.orang-bali.com)


Sepintas warung itu tidak jauh berbeda dengan warung-warung sederetannya. Bangunannya sama, atapnyapun sama sederhananya. WC nya sama-sama tidak menggunakan keran. Airnya sama-sama terasa membekukan darah. Warung-warung itupun sama-sama memiliki banyak kamar. Memang warung-warung itu berfungsi juga sebagai hotel sederhana. Tempat bernaung sementara bagi mereka para pengunjung dari kota. Tidak ada kasur, atau tempat tidur, yang ada hanya karpet dan tikar sederhana. Etalasenya sama, bahkan makanan yang hidangkan pun tidak jauh berbeda.
Namun cobalah masuk dan perhatikan dinding kayu warung itu. Ada yang unik dengan dinding nya. Hampir disemua dinding warung ini dipenuhi foto-foto unik. Foto mereka pengunjung setia warung ini. Coretan dan tanda tanganpun memenuhi sisi yang sama. Nyaris tidak ada celah yang tersisa, semuanya penuh dengan foto dan coretan. Jauh dari kesan bersih. Mudah ditebak bahwa mereka yang melakukan itu pasti bukan sekedar pengujung iseng, tetapi “member fanatik” warung ini. Fans club, lebih tepatnya. Tidak hanya dinding, pintu, etalase, bangku, pendek kata disetiap ruang kosong, pasti dipenuhi foto, atau paling tidak sebuah tanda tangan. “Agus cs desember 2004” demikian salah satu tulisan dietalase. “Farid, Budi, Indra dipuncak Cimacan” demikian tulisan disisi lain. Jelas coretan-coretan itu berbeda dengan coretan kasar penuh “kemarahan” yang kita temui dipinggir jalan kota. Coretan di warung itu seakan bertutur, “kami adalah keluarga besar”. Keakraban, kesetiakawanan dan kerinduan dipantulkan oleh foto dan coretan-coretan itu. Mungkin satu hal yang akhirnya membuat warung ini jadi demikian spesial, adalah pemiliknya.

Mang Idi, demikian panggilan akrab pemilik warung itu. Seperti nama pemiliknya, warung itupun terkenal dengan nama “Warung Mang Idi”. Namanya mungkin asing bagi kita, tetapi pastilah tidak asing bagi mereka, para pencinta alam dan pendaki gunung yang kerap mengunjungi Gunung Pangrango. Hampir semua penggemar naik gunung dan hiking pasti mengenal baik Mang Idi. Lelaki separuh baya itu berpenampilan bersahaja. Dia hidup dengan sederhana bersama istri dan anak-anaknya di kaki Gunung Pangrango. Tinggi badan rata-rata orang kebanyakan. Rambut dikepalanya terlihat memutih dihiasi uban. Tatap matanya teduh. Senyumnya yang tulus, jabat tangannya erat dan keramahannya susah untuk dilupakan. Selain aura persahabatan yang kental, hal lain yang mengagumkan pada diri Mang Idi adalah ingatannya pada nama hampir semua tamu-tamunya. Bahkan mereka yang sudah beberapa tahun tidak berkunjung. Tak heran jika kemudian Mang Idi dan warungnya mendapat tempat di hati pengunjung warungnya. Bahkan menurut cerita seorang sahabat, pernah suatu ketika, rumah Mang Idi sempat dilanda angin kecang dan sebagian bangunannya rubuh. Entah siapa yang mengundang, para sahabat dari Jakarta dan berbagai daerahpun berdatangan. Mereka bahu-membahu memperbaiki rumah Mang Idi. Uang dan tenaga bantuan mengalir tanpa diminta. Mereka datang karena markas besar mereka rubuh, mereka datang karena rumah mereka rubuh dan mereka membangunnya hingga tuntas. Mereka datang untuk seorang sahabat. Mereka datang untuk Mang Idi. Sangat mengagumkan, jika menyaksikan kesetiaan dan kerinduan mereka terhadap figur Mang Idi dan warungnya. Seakan warung dan Mang Idi sudah tertanam sedemikian rupa tidak hanya dikepala mereka, tetapi lebih dalam lagi. Tertanam di lubuk hati.

Entah mengapa tiba-tiba saya teringat akan sebuah buku yang ditulis oleh pakar pemasaran terkemuka, Al Ries. The Fall of Advertising and the Rise of PR. Sebuah buku kritis yang mereposisi peran iklan dan PR(Public Relation) suatu perusahaan. Suatu saat nanti, bahkan sudah tiba sekarang-demikian buku itu bertutur-bahwa PR akan berperan lebih efektif dalam pencitraan suatu produk dibandingkan iklan. Menurut Al Ries, strategi PR, selain lebih murah, juga dipandang lebih efektif untuk meninggalkan kesan yang dalam dibenak customer. Kesan terhadap produk, kesan terhadap perusahaan. Demikian menurut AL Ries.

Kembali ke Mang Idi dan warungnya. Jelas, Mang Idi belum pernah membaca buku-buku Al Ries, mendengar nama Al Ries pun belum. Bahkan, berkunjung ke toko buku, untuk sekedar melihat sampul buku teori marketingpun, hampir merupakan sesuatu yang mustahil bagi seorang Mang Idi. Dia tidak mengerti konsep-konsep rumit yang dipaparkan oleh Al Ries. Tetapi mengagumkan, bahwa Mang Idi dan warungnya tidak hanya tertanam di otak customer mereka, tetapi di hati. Secara naluri apa yang ditampilkan Mang Idi, bukan sekedar PR.
Ada perbedaan mendasar antara PR, yang dimaksud Al Ries dan ketulusan versi Mang Idi. Yang satu keluar dari kepala, yang lain muncul dari hati. Yang satu disusun untuk mencapai suatu target, yang lain tanpa dibebani target apapun. Yang satu memerlukan pelatihan dan strategi rumit, sedang yang lain, mudah, hanya membuka hati dengan tulus. Sekilas sama, tetapi mempunyai spirit yang berbeda.

Jadi jika kebetulan Anda punya waktu luang dan ingin bersembunyi sejenak dari kejenuhan dan siksaan rutinitas. Menghindar dari jejalan kesibukan kantor, dari bisingnya gaya hidup metropolitan. Beristirahat dari persaingan yang menyesakkan dada. Cobalah berkunjung ke Gunung Pangrango. Disana Anda akan bertemu dengan air terjun yang indah, danau biru yang ajaib memukau, sungai dingin yang mengalir jernih, hutan belukar yang sejuk, bebatuan yang dingin, suara mahluk rimba yang samar-samar dan gemericik air yang mengalir. Sempatkan juga untuk mampir di warung Mang Idi. Disana Anda akan bertemu ketulusan seseorang sahabat dalam warung sederhana. Jangan lupa untuk membawa foto Anda untuk ditempel didinding itu. Beberapa foto juga boleh, atau jika Anda tidak punya foto, bawalah spidol besar atau mungkin ballpoint, dan coretkan tanda tangan Anda disana. Tetapi berhati-hatilah jangan sampai foto atau coretan Anda menimpa sebuah stiker biru didinding itu. Stiker itu berwarna biru-putih, cukup jelas untuk dibaca. Stiker itu bertuliskan “a Friend for Life”. Seorang teman untuk kehidupan, demikian kira-kira artinya. Entah siapa yang menempelkannya disana, tapi tulisan dalam stiker itu hampir merupakan ringkasan dari foto, coretan dan semua peristiwa yang terjadi diwarung itu. Dan jangan lupa, sampaikan salam saya pada Mang Idi. Tolong beritahu dia, saya pasti akan kembali untuk sessi foto berikutnya disana. Air Terjun dan hutan Gunung Pangrango. Menikmati teh manis dan nasi goreng panas ala Mang Idi diselimuti dinginnya kabut dan hujan.
Ternyata benar kata orang bijak, hati hanya dapat dibeli dengan hati.


salam hangat,
MTA (penikmat hidup)
http://www.orang-bali.com/

Plugin from the creators ofBrindes Personalizados :: More at PlulzWordpress Plugins